Kamis, 03 Maret 2011

Fiqih Islam dalam waris.(Hal ini,..sering kita lupakan).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Assalamualaikumwarohmatullohiwabarokatuh ...

Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang pertama kali akan diangkat dari muka bumi.
عَنِ  يَا أَبَا هُرَيْرَةَr قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ tالأَعْرَجِ  تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ العِلْمِ وَإِنَّهُ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

Perintah Khusus Dari Nabi SAW
tعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ  rقَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  تَعَلَّمُوا القُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَإِنَّ العِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ الاِثْنَانِ فيِ الفَرِيْضَةِ لاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِي بِهَا – رواه الحاكم
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu waris, khalifah Umar bin Al-Khattab
radhiyallahuanhu juga secara khusus memerintahkan umat Islam mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau menyebutkan kita harus mempelajari ilmu waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ t أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ كَمَا تَتَعَلَّمُوْنَ القُرْآنَ .
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata, "Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran".  

Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga adalah masalah harta waris. Dari banyak kasus yang terjadi, umumnya berhulu dari kurang pahamnya para anggota keluarga atas aturan dan ketentuan dalam hukum waris Islam.
Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi Islam ternyata punya dampak yang sangat besar. Salah satunya adalah munculnya perpecahan keluarga. Lantaran ketika orang tua wafat, anak-anak yang tidak mengenal ilmu waris itu saling berebut harta disebabkan karena parameter yang mereka gunakan saling berbeda.

Seandainya orang tua mereka telah mengjaari dan mendidik mereka sejak kecil dengan ilmu waris Islam, niscaya perpecahan keluarga tidak akan terjadi. Sebab selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh dengan pendidikan Islam, mereka pun dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama yang mengajarkan bagaimana cara membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang masalah waris, umumnya yang menjadi penyebab utama adalah awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum waris Islam.
Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga yang barangkali bukan terjadi hari ini adalah mempersiapkan anak-anak kita, terutama generasi muda, dengan bekal ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal merea sudah punya pedoman buat bekal ketika dewasa nanti.

Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14)
Orang yang tidak memakai hukum mawarits dalam pembagian hartanya, sama halnya dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ancaman terhadap mereka sama dengan ancaman terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.


“"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”" [Al-Maidah : 44]


“"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhallim”" [Al-Maidah : 45]

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik"” [Al-Maidah : 47]


Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Pernyataan tegas (dalam permasalahan ini) ialah, barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai pengingkaran, sedangkan ia mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hukum tersebut, sebagaimana yang diperbuat oleh Yahudi, maka dia telah kufur.


Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala karena lebih condong kepada hawa nafsu tanpa pengingkaran (terhadap hukum tersebut), maka dia telah berbuat zhalim atau fasik” [Zadul Masir 2/366]


Dalam masalah pembagian harta waris, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ancaman bagi orang yang menetapkan pembagian harta waris apabila tidak berdasarkan hukum Allah. Allah Suhanahu wa Ta’ala berfirman setelah ayat mawarits.

"(Hukum-hukum mawarits tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan”" [An-Nisa 13-14]


Ayat di atas menerangkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang yang membagi harta waris sesuai ketentuannya. Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam setiap orang yang melampaui batas, tidak memperdulikan atau berpaling, dan menambah atau mengurangi dengan adzab yang sangat pedih.


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :”Seseorang beramal dengan amal orang yang shalih selamah tujuh puluh tahun. Kemudian ketika berwasiat, ia melakukan kezhaliman dalam wasiatnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup amalannya dengan seburuk-buruk amalan, hingga membuatnya masuk neraka. Dan sesungguhnya, seseorang beramal dengan amal orang fasik selama tujuh puluh tahun, kemudian dia berlaku adil dalam wasiatnya, niscaya ia dapat menutup amalnya dengan amal yang terbaik, sehingga dia masuk surga” Abu Hurairah berkata : “bacalah kalau kalian mau”. Kemudian beliau membaca ayat di atas. [Hadits riwayat Abu Dawud, 2867, Ibnu Majah 22/3/2703 dan Ahmad /447/7728. Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya Shahih”]




Pentingnya ilmu FaraidhIlmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah sendiri yang menentukan bagian masing-masing, Allah menerangkan bagian masing-masing ahli waris, sebagian besar diterangkan dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.Oleh sebab itu Allah-lah yang langsung mengatur sendiri pembagian serta rincianya dalam Kitab-Nya, meratakannya di antara para ahli waris sesuai dengan keadilan serta maslahat yang Dia ketahui. Manusia memiliki dua keadaan: keadaan hidup dan keadaan mati, kebanyakan hukum yang ada dalam ilmu Faraidh berhubungan dengan mati, maka Faraidh bisa dikatakan setengah dari ilmu yang ada, seluruh orang pasti butuh kepadanya.  
                
HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA
(Analisis Terhadap Buku II Kompilasi Hukum Islam)
 Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat Islam di dunia. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan di Negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu terbatas pada perkara yang bukan merupakan hal pokok atau esensial dalam ketentuan waris Islam.
Khusus hukum kewarisan Islam di Indonesia, ada beberapa
perbedaan dikalangan para fuqaha yang pada garis besarnya terbagi
menjadi dua golongan, yaitu: pertama, yang lazim disebut dengan
madzhab sunny (madzhab Hanafi,Maliki, Syafi' i, dan Hambali) yang
cenderung bersifat patrilineal dan kedua, ajaran Hazairin yang
cenderung bilateral.


Dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia selanjutnya
lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan
Agama diakui dengan hadirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. KHI adalah kitab yang merupakan himpunan atau
rangkaian kitab Fiqh, serta bahan-bahan lainnya yang merupakan
hukum materil PA dalam meyelesaikan masalah perkawinan,
kewarisan dan wakaf.
Kehadiran KHI ini dilatarbelakangi antara lain karena
ketidakpastian dan kesimpangsiuran putusan PA terhadap masalahmasalah
yang menjadi kewenangannya, disebabkan dasar acuan
putusannya adalah pendapat para ulama yang ada dalam kitab-kitab
Penulis adalah Tenaga Pengajar Pada Jurusan, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia…147
fiqh yang sering berbeda tentang hal yang sama antara yang satu
dengan lainnya. Sehingga sering terjadi putusan yang berbeda antara
satu PA dengan PA lainnya dalam masalah yang sama.1

Tema utama penyusunan KHI ialah mempositifkan hukum
Islam di Indonesia, yang dijadikan pedoman oleh para hakim dalam
melaksanakan tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan dan
kepastian hukum. Sebab untuk dapat berlakunya hukum Islam di
Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat. Dengan
lahirnya KHI, semua hakim di lingkungan PA diarahkam kepada
persepsi penegakan hukum yang sama.2
KHI terdiri atas tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan,
Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan. Pasalpasal
hukum perkawinan dalam Buku I yang terdiri dari 170 pasal,
telah memuat materi hukum yang rinci. Di samping itu selain Buku I
KHI juga telah ada UU lain yang mengatur tentang perkawinan,
seperti UU no. 1 th. 1974 dan PP no.9 tahun 1975. Berbeda dengan
hukum kewarisan dalam Buku II yang begitu singkat jika
dibandingkan dengan hukum perkawinan. Hukum kewarisan hanya
terdiri dari 23 pasal (pasal 171-193). Hukum perwakafan dalam Buku
III juga singkat, yaitu 15 pasal, namun hukum perwakafan namun
telah ada perundang-undangan lain yang mengaturnya, yaitu PP no. 28
tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.

Dari uraian di atas tampaknya Buku II KHI ini memerlukan
penjelasan lebih lanjut, karena banyak hal-hal yang tampaknya belum
jelas dan belum dijelaskan. Hal ini seperti terlihat dalam perincian
kelompok ahli waris, belum jelas siapa-siapa orangnya, bagaimana
bagian masing-masing dan bagaimana tentang konsep pengganti ahi
waris. Hal ini dikaitkan dengan tujuan dari penyusunan KHI itu
sendiri, yaitu untuk terciptanya kesatuan pemahaman menuju kesatuan
dan terciptanya kepastian hukum.
Dalam KHI buku II ini, walaupun singkat namun memuat
beberapa masalah. Selain tentang kewarisan dalam Buku II KHI ini
juga diatur tentang wasiat dan hibah. Adapun dalam tulisan ini hanya
dibatasi pada pembahasan yang mengatur tentang kewarisan dan halhal
yang berhubungan dengan kewarisan tersebut, terutama tentang
kelompok ahli waris dan bagiannya masing-masing.
Di sini juga akan
dibahas tentang konsep pengganti ahli waris, hal ini karena terkait erat
dengan masalah kewarisan.

1 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademi
Pressindo, 1992), h.21
2 Yahya Harahap,"Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum
Islam" Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 (Jakarta: Al
Hikmah, 1992), h. 25
Pengertian Hukum Kewarisan
Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada pasal
171 ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing."


Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI
mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris
2. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris
3. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan
4. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta
peninggalan dari pewaris kepada ahli waris
5. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.
Dari definisi ini juga tampak unsur-unsur pewarisan, yaitu;
pewaris, ahli waris dan harta warisan atau tirkah.


Pewaris
Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b): "Pewaris
adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama
Islam,meniggalkan ahli waris dan harta peninggalan."
Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan
disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara
hakiki ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh
ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain
meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdiri.3
Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga
disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta
peninggalan. Syarat-syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan
dalam fiqh mawaris.


Ahli Waris
Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal 171
ayat ( c ): "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris"                                                               
Dari pasal 171 ayat ( c ) ini, pertama, menurut penulis perlu
adanya penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan redaksi
tersebut seakan-akan yang meninggal itu adalah ahli waris, padahal
yang dimaksud tentunya bukan demikian. Kedua, dari pengertian ahli
3Sayid Sabiq, Fiqh as Sunnah,Juz III (Semarang: Toha Putra, 1980), h. 426
waris di atas tidak disebutkan apakah ahli waris tersebut disyaratkan
hidup atau tidak seperti telah diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris
bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah hidupnya ahli
waris saat kematian pewaris, baik secara hakiki maupun hukum.4
Untuk yang kedua ini perlu penjelasan, karena hal ini akan terkait
dengan pasal 185 tentang ahli waris pengganti, apakah mereka
mewaris karena imperatif atau sebagai alternatif untuk mencapai
keadilan seperti ditempuh oleh wasiat wajibah atau secara otomatis
dan seharusnya mereka mendapatkannya seperti pendapat Hazairin.5
Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi tersebut adalah:
"Ahli waris adalah orang yang masih hidup atau dinyatakan masih
hidup oleh putusan pengadilan pada saat meninggalnya pewaris
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris."

Selanjutnya ahli waris yang terdapat pada KHI seperti tersebut
di atas pada dasarnya sama dengan ahli waris dalam kitab-kitab fiqh
Islam, dengan pengecualian laki-laki dan perempuan yang
memerdekakan budak, karena di Indonesia tidak ada perbudakan,
namun dimungkinkan ada penambahan ahli waris pengganti seperti
cucu laki-laki maupun perempuan dari anak perempuan bersamaan
anak laki-laki, di mana anak perempuan tersebut telah meninggal
dunia lebih dahulu dari pewaris.


Dari pasal-pasal 174. 181, 182 dan 185, dapat dilihat bahwa ahli
waris tersebut terdiri atas :
1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman, kakek dan suami.
2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, nenek dan isteri
3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti
adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki
atau perempuan. Dari penjelasan tentang ahli waris menurut
KHI ini, dapat disimpulakan bahwa syarat-syarat sebagai ahli
waris adalah; mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan; beragama Islam. Tentang beragama Islam bagi ahli
waris ini lebih lanjut diatur dalam pasal 172 KHI: "Ahli waris
dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu
identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."
4
M. Ali Ash Shabuni, Al Mawarits Fi Syariat alIslamiyyah 'ala Dhau'i
Kitabi Wa as Sunnah, (Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979), h.34
5 Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan
Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fiqh Madzhab, (Jakarta : INIS,
1998), h. 1


4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Adapun tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya
pewaris, seperti disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak
dalam ketentuan ini, dan menurut penulis hal ini perlu
ditegaskan.

Adanya Harta Peninggalan (Tirkah).
Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka
tidak akan terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan
para ulama ada beberapa pendapat. Ada yang menyamakan dengan
pengertian maurus (harta waris) ada juga yang memisahknnya, yaitu
bahwa tirkah mempunyai arti yang lebih luas dari maurus.6
KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para
ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah, yaitu seperti
dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan adalah harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang
menjadi miliknya maupun hak-haknya."
Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat
(e) ;"Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat."


Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum harta
peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah berupa:
1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang,
termasuk piutang yang akan ditagih.
2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar
pada saat seseorang meninggal dunia
3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan
masing-masing.
4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami
atau isteri, misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa
sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus kembali
pada asalnya, yaitu suku tersebut.7
Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan
peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara induvidual kepada ahli
waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan
harta bawaan suami atau isteri, harta bawaan dari klan dikurangi lagi
dengan biaya untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan
jenazah, pembayaran hutang si mati dan wasiat.
6 M. Abu Zahrah, Ahkam At Tirkah wa alMirats, (Kairo : Dar al Fikr,1975),
h.150
7 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Dengan
Kewarisan KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 102-103
Dari pengertian ini tampaknya KHI membedakan antara
pengertian tirkah dan maurus .


Halangan Menjadi Ahli Waris
Salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah tidak adanya
halangan pewarisan. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris
dalam KHI disebutkan pada pasal 173, yang berbunyi sebagai berikut:
"Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim
yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat".

Ketentuan terhalangnya seorang ahli waris sebagaimana
disebutkan di atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani' al irs
menurut para ulama dalam fiqh mawaris. Ketentuan di atas tampaknya
diadopsi dari BW pasal 838 tentang ketentuan orang-orang yang tidak
pantas (onwardig) untuk menerima warisan bagi kelompok ahli waris
karena kematian (wettelijk erfrecht).8
Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi ahli waris
menurut KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris tampak
bahwa yang terkandung dalam pasal 173 ini hanya pembunuhan.
Adapun perbudakan dan berlainan agama tidak ada. Untuk
perbudakan mungkin dapat diterima, karena di Indonesia tidak ada
perbudakan. Adapun tentang berbeda agama walaupun tidak
dicantumkan dalam pasal 173 yang mengatur tentang halangan
seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya KHI juga mengakui
bahwa perbedaan agama menjadi penghalang pewarisan juga. Hal ini
seperti diatur dalam pasal 171 ayat (b) dan ayat (c) tentang pewaris
dan ahli waris yang harus beragama Islam. Dari kedua ayat ini dapat
diketahui bahwa beragama Islam menjadi salah satu syarat bagi
pewaris dan ahli waris agar terjadi pewarisan. Karena beragama Islam
menjadi salah satu syarat terjadi pewarisan, maka berbeda agama
menjadi salah satu penghalang pewarisan. Jadi akan lebih baik apabila
173 yang mengatur tentang terhalangnya seseorang menjadi ahli waris
ditambah dengan berbeda agama.


Kelompok Ahli Waris
Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal 174,
selengkapnya pasal tersebut berbunyi:
8 R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
(Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982), h. 209


1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari:
ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pengelompokan ahli waris seperti di atas, merupakan
pengelompokan berdasarkan sebab-sebab terjadinya pewarisan, yaitu
karena hubungan darah (nasabiyah), dan karena perkawinan
(sababiyah). Jika dibandingkan dengan pengelompokan ahli waris
menurut fiqh mawaris9 , tampaknya KHI tidak mencantumkan ahli
waris karena hubungan wala atau perbudakan, ini karena di Indonesia
tidak mengenal perbudakan. Selanjutnya menurut para ulama, dalam
fiqh mawaris pengelompokan ahli waris itu juga terbagi atas tiga
kelompok lain, yaitu: dzawi al furudh, ashabah dan dzawi al arham10
Jadi menurut para ulama dalam fiqh mawaris terdapat
pengelompokan yang jelas tentang ahli waris dan bagiannya serta cara
membagikan bagian tersebut kepada masing-masing ahli waris.

Hal ini jika dibandingkan dengan KHI, seperti yang tercantum
dalam pasal 174, tampak bahwa pengelompokan ahli waris dalam fiqh
mawaris lebih jelas dari pengelompokan ahli waris dalam KHI pasal
174. KHI hanya menyebutkan ahli waris berdasarkan nasabiyah dan
sababiyah saja. Adapun istilah dzawi al furudh dan ashabah tidak
disebutkan dalam pengelompokan ahli waris tetapi disebutkan dalam
pasal tentang aul dan radd11 Sedang tentang dzawi al arham, KHI
tidak pernah menyebut istilah ini, baik dalam pasal-pasal maupun
dalam penjelasannya.
Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa walaupun KHI tidak
menyebutkan dzawi al furudh dan ashabah dalam pasal yang
9 Husnain Muhammad Mahluf, Al Mawarits Fi Syari'at al Islamiyyah,
(Kairo: Mathbah al Madani, 1976), h.33
10 Fathurrahman, Hukum Waris, (Bandung: Al Ma'arif, 1975), h. 150
11
Adapun bunyi kedua pasal itu adalah: Pasal 192: “ Apabila dalam
pembagian ahli waris diantara ahli waris dzawi al furudh menunjukkan bahwa angka
pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai
dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul
menurut angka pembilang”
Pasal 193:
“Apabila dalam pembagian ahli waris diantara ahli waris dzawi al furudh
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedang tidak
ada ahli waris ashabah maka pembagian harta warisan tersebut dibagi secara radd,
yaitu sesuai dengan hak amsing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara
nberimbang diantara mereka.

mengatur tentang pengelompokan ahli waris namun secara eksplisit
KHI mengakuinya, seperti tercantum dalam pasal 192 dan 193, namun
di sini masih belum jelas siapa-siapa saja yang termasuk dalam kedua
kelompok tersebut dan bagaimana penentuan bagian masing-masing.
Selanjutnya dalam pasal 174 ini, masih ada beberapa hal yang
menjadi pertanyaan berkenaan dengan pengelompokan ahli waris,
seperti kakek dan nenek, siapakah yang dimaksud? Karena menurut
ulama sunni dalam fiqh mawaris kakek dan nenek itu tidak semua
sama. Mereka dibedakan antara kakek dan nenek yang shahih adalah
termasuk dzawi al furudh atau ashabah dan kakek dan nenek ghair
ash shaih yang termasuk dalam dzawi al arham. Ataukah KHI tidak
membedakan kakek dan nenek seperti penggolongan sunni tersebut,
seperti yang dianut oleh madzhab Ja'fariyah12 .

Dari uraian di atas, nampak bahwa KHI tidak menyebut istilah
dzawi al arham. KHI juga tidak mengatur secara jelas apa nama
kelompok bagi ahli waris yang termasuk dzawi al arham tersebut.
Mereka yang termasuk dzawi al arham ini antara lain adalah kakek
ghair ash shaih seperti ayah dari ibu pewaris, anak-anak dari saudara
perempuan dan saudara perempuan dari ayah. Dari sini dapat
diketahui bahwa KHI belum secara jelas mengatur pengelompokan
ahli waris tersebut. Demikian juga urutan prioritas penerimaannya.
Ketidakjelasan pengelompokan tersebut akan menimbulkan
persepsi yang berbeda dalam penyelesaian kasus kewarisan.
Pemahaman ini mungkin akan berbenturan antara penyelesaian
menurut fiqh mawaris sebagaimana dikemukakan oleh para ulama,
dengan yang diinginkan oleh KHI itu sendiri, atau dengan dugaan
bahwa KHI tidak mengenal kelompok dzawi al arham. Karena dalam
madzhab Syi'ah yaitu Ja'fariyah tidak mengenal pengelompokan ahli
waris atas tiga kelompok seperti ulama sunni di atas, demikian pula
kewarisan Islam yang pernah ditawarkan Hazairin.13


Beberapa contoh kasus yang mungkin menimbulkan
permasalahan dalam penyelesaiannya antara lain sebagai berikut:
1. Ahli waris terdiri dari nenek, yaitu ibu dari ibu pewaris (ummu
ummi al mayyit) dan kakek, yaitu ayah dari ibu pewaris (Abu ummi
al mayyit). Nenek dalam contoh di atas termasuk dzawi al furudh
(jaddat shahihat), sedang kakek termasuk dzawi al arham (Jadd
ghair shahih). Menurut para ulama dalam fiqh mawaris, harta
warisan seluruhnya jatuh ke tangan nenek melalui jalur radd,
sedang kakek tidak mendapat bagian sama sekali. Dalam hal ini
12 Al Yasa Abu Bakar, Op. Cit,. h. 161-170, Fathurrahman, Op. Cit., h. 27213
M. Abu Zahrah, Al Mirats 'Inda Ja'fariah, (Kairo: Dar al Fikr, tt), h. 10,
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an Dan Hadith, (Jakarta:
Tintamas, 1982), h.18
KHI tidak jelas mengaturnya, apakah terhadap kakek yang
termasuk dzawi al arham tersebut KHI memberi bagian atau tidak.
2. Ahli waris terdiri dari nenek, yaitu ibu dari ayah dari ibu pewaris
(ummu abi ummi al mayyit) dan cucu laki-laki dari saudara lakilaki
kakek shahih (Ibnu ibni akhi al jadd ash shahih). Dalam
contoh ini nenek termasuk dzawi al arham ( jaddat ghair ash
shahihat), sedangkan cucu dari saudara kakek termasuk kelompok
ashabah. Jadi harta warisan jatuh seluruhnya kepada cucu dari
saudara kakek tersebut, sedang nenek tidak mendapat bagian. KHI
dalam contoh di atas tidak jelas mengaturnya, sebab tidak
menyebutkan secara jelas rincian nenek dan urutan prioritas
penerimaan ahli waris.


Sehubungan dengan uraian di atas, dalam KHI perlu dipertegas
tentang pengelompokan ahli waris dan perioritas penerimaannya. Hal
ini sangat penting untuk tidak menimbulkan perbedaan penafsiran
dalam rangka kesatuan persepsi menuju kejelasan dan kesatuan serta
kepastian hukum. Sebagai acuan pengelompokan tersebut, bisa
dipakai pengelompokan ahli waris menurut pendapat para ulama
dalam fiqh mawaris, terutama dari fiqh sunni yang telah lama dianut
oleh umat Islam di Indonesia termasuk prioritas penerimaannya.


Ahli Waris Pengganti
Tentang ahli waris pengganti ini dalam KHI diatur dalam pasal
185 KHI. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali
mereka yang tersebut dalam pasal 173.

2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.
Ketentuan ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam pasal
185 tersebut merupakan hal yang baru dalam hukum kewarisan Islam
di Indonesia. Menurut Yahya Harahap bahwa ketentuan ini
merupakan terobosan terhadap penyelewengan hak cucu atas harta
warisan ayah, apabila ayah meninggal lebih dahulu dari pada kakek.14
Dari pengertian ahli waris pengganti . KHI tidak memberi batasan yang
jelas, maka pemahaman tentang ahli waris pengganti seperti dimaksud
pasal 185 ayat (1) itu dapat diartikan secara luas. Sehingga pengertian
ahli waris yang digantikan itu meliputi garis lurus ke bawah dan juga
dari garis menyamping. Jadi pasal ini selain bisa menampung cucu
dari pewaris baik dari anak laki-laki atau perempuan juga bisa
menampung anak-anak (keturunan) saudara-saudara yang lebih dahulu
meninggal dunia dengan tentunya tetap memperhatikan aturan hijab
menghijab antara derajat yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah.


Pengaturan tentang cucu yang terhalang oleh saudara orang
tuanya yang masih hidup inipun telah diatur di negara-negara Islam
lainnya. Seperti Mesir yang memberlakukan wasiat wajibah, yang
diikuti oleh Sudan, Suriah, Maroko, dan Tunisia dengan beberapa
variasi.15 Menurut Yusuf Qardhawi, pemerintah Mesir menjadikan
wasiat wajibah dalam perundang-undangan merupakan perpaduan
ijtihad iniqa’I (selektif) dan insya’I (kreatif).16


Abu Zahrah menambahkan kenyataan sering anak-anak yang
kematian ayah tersebut hidup dalam kemiskinan, sedang saudarasaudara
ayahnya hidup dalam kecukupan. Anak yatim tersebut
menderita karena kehilangan ayah dan kehilangan hak kewarisan.
Memang biasanya seseorang berwasiat untuk cucu yatim itu. Tetapi
sering pula ia meninggal sebelum melakukannya, karena itulah
Undang-Undang mengambil alih aturan yang tidak dikenal dalam
madzhab-madzhab empat, tetapi menjadi pendapat beberapa ulama
lain.17
Kalau negara-negara Islam, seperti Mesir, Suriah, Maroko dan
Tunisia memasukkan cucu atau cucu-cucu dalam kasus tersebut
dengan wasiat wajibah dengan beberapa variasi. Sedangkan Pakistan
dan Indonesia memakai konsep ahli waris pengganti.


Hal yang perlu diperhatikan dari pasal 185 ini adalah bahwa isi
pasal tersebut tidak bersifat imperatif (selalu digantikan ) oleh
anaknya.18 Tetapi pasal ini bersifat tentatif atau alternatf. Hal mana
diserahkan kepada pertimbangan hakim Peradilan Agama menurut
kasus demi kasus. Hal ini bisa dilihat dari kata dapat dalam pasal
tersebut. Sifat alternatif atau tidak imperatif dalam pasal 185 sudah
tepat, sebab tujuan dimasukkannya ahli waris pengganti dalam KHI
karena melihat pada kenyataan dalam beberapa kasus, kasihan
terhadap cucu atau cucu-cucu pewaris.


Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa bagian ahli waris
pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti, bahwa pengganti ahli waris sebenarnya bukan
ahli waris, tetapi mendapat waris karena keadaan atau pertimbangan
tertentu. Kalau mereka itu sejak dari semula dianggap sebagai ahli
waris yang kini menjadi pengganti ahli waris.


The Succession In The Muslim Famili, (Cambridge University
Press, 1967), h. 139, 143, dst. Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam dan
perkembangannya Di Seluruh Dunia, (Jakarta: Wijaya, 1984),h. 21,23. 25.
16 Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kotemporer, Terjemahan Abu Barzani (Surabaya:
Risalah Guti, 1995), h. 51
17 M. Abu Zahrah, Ahkam At Tirkah wa alMirats, Op. Cit., h’283
18
Raihan A. Rasyid, “Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat Wajibah” dalam
Mimbar Hukum, No. 23, (Jakarta: al Hikmah dan Depag RI, 1995), h.58


pembahasan khusus seperti yang disebutkan dalam ayat (2). Adanya
ayat (2) ini sudah tepat sekali sehingga ahli waris yang sesungguhnya
tidak akan terlalu dirugikan.
Penutup
Materi pengaturan hukum kewarisan dalam Buku II KHI di
samping memuat hal-hal baru dalam pewarisan Islam juga terdapat
kekurang sempurnaan dan tampak masih banyak yang belum jelas,
sehingga masih perlu disempurnakan. Namun demikian, ketentuan
muatan hukum kewarisan sebagai bagian dari fiqh Indonesia yang
juga berdimensi qanun (hukum positif) bagi negara Indonesia perlu
dipertahankan dan dikembangkan untuk diterapkan. Terutama bagi
instansi terkait dan masyarakat yang memerlukannya. Hal ini sangat
penting untuk mengisi kekosongan hukum yang selama ini dibutuhkan
oleh masyarakat muslim Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
 Di kutip dari :  Syariah STAIN Samarinda
Hj. Ratu Haika
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:
Akademi Pressindo, 1992
Abu Bakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian
Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran
Fiqh Madzhab, Jakarta : INIS, 1998
Ash Shabuni, M. Ali Al Mawarits Fi Syariat al Islamiyyah 'ala Dhau'i
Kitabi Wa as Sunnah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979
Coulson, The Succession In The Muslim Famili, Cambridge
University Press, 1967
Fathurrahman, Hukum Waris, Bandung: Al Ma'arif, 1975
Harahap,Yahya, Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi
Hukum Islam" Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum
Islam, No. 5 (Jakarta: Al Hikmah, 1992
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an Dan Hadith,
Jakarta: Tintamas, 1982
Mahluf, Husnain Muhammad, Al Mawarits Fi Syari'at al Islamiyyah,
Kairo: Mathbah al Madani, 1976
Qardhawi,Yusuf, Ijtihad Kotemporer, Terjemahan Abu Barzani,
Surabaya: Risalah Guti, 1995
Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam Dengan Kewarisan KUH Perdata, Jakarta: Sinar
Grafika, 1995
Rasyid, Raihan A. “Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat Wajibah”
dalam Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta: al Hikmah dan
Depag RI, 1995
Sabiq, Sayid, Fiqh as Sunnah,Juz III, Semarang: Toha Putra, 1980
Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam dan perkembangannya Di
Seluruh Dunia, Jakarta: Wijaya, 1984
Subekti R. dan Tjitrosudibjo R. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982
Zahrah, M. Abu, At Tirkah wa alMirats, (Kairo : Dar al Fikr,1975),
-------------------, Al Mirats 'Inda Ja'fariah, (Kairo: Dar al Fikr, tt),


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka
dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS:Al-Baqarah:155-157)


Semua rukun-rukun Islam itu dapat menjadikan umat Islam menjadi ummat yang suci, bersih dan tulus menganut Dinul haq (agama yang benar), bergaul dengan sesama dengan adil dan jujur, karena ajaran-ajaran Islam lainnya akan menjadi benar dengan benarnya pilar-pilar (rukun-rukun) tersebut. Umat Islam akan menjadi baik bila mereka melakukan agamanya dengan baik pula, dan kebaikan itu akan berkurang sesuai dengan keteledoran mereka dari kebaikan ajaran-ajaran agama mereka.
Amin Ya Allah ,Ya Robbillalamin...


Semoga bermanfaat,..amin.


Allahummarhamna bil Quran, waj`alhu lana imaman wa nuran wa hudan
wa rahmah.Amin
Waallohua lam bishawab
Wa’salamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Wa fiikum barakallahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar